MULTIKULTURALISME DI INDONESIA
Peran Kebudayaan dalam mendorong Pengembangan Masyarakat Multikultural
Oleh Mudjahirin Thohir
1. Pendahuluan
Dalam perjalanannya, seiring dengan
perjalanan bangsa-bangsa lain di dunia, Indonesia, dalam batas-batas
tertentu, telah menunjukkan kemajuan yang berarti. Tetapi ketika dilihat
dari potenti-potensi alamiah seperti sumber daya alam yang melimpah
yang dimiliki Indonesia, yang terbentang luas mulai dari Sabang sampai
Merauke, dibanding dengan sebagian kekayaan sumber-sumber daya alam
bangsa-bangsa lain di dunia yang tidak semelimpah kekayaan Indonesia,
Indonesia semestinya sudah lebih baik kondisinya. Jepang dan Korea
Selatan misalnya, negara ini telah mampu mensejahterakan rakyatnya jauh di atas bangsa-bangsa lain terutama di Asia, termasuk Indonesia.
Begitu pula dengan penduduk
Indonesia yang secara idiil termasuk warga bangsa yang disebut sebagai
“religious people”, seharusnya modal religiositas itu, tidak saja
mengantarkan kepada warga bangsanya menjadi warga bangsa
yang disiplin, jujur, toleran, dan beretos kerja tinggi untuk berperan
dan menjalankan peran sebagai “khalifah fil ardli” atau memayu hayuning bawana,
untuk mengantarkan kejayaan Indonesia sendiri. Apalagi dengan pilihan
model tatakelola pemerintahan dan kemasyarakatan (system politik) yaitu
system demokrasi. Semestinya, setelah 66 tahun merdeka, modal dasar
tadi: kekayaan alam, keberagamaan, dan demokrasi, Indonesia sudah
menjadi Negara yang makmur dan maju.
Tetapi fakta-fakta menunjukkan
hal-hal yang sebaliknya (paradoksal), atau setidaknya jauh dan
nampaknya menjauh dari idealisasi ini. Melihat keadaan seperti ini, kita mesti berani bertanya dan mempertanyakan “apa yang salah di negeri ini”.
Ada banyak teori untuk
menjelaskan dan memberikan jalan keluarnya, tetapi dalam konteks seminar
kali ini, saya mencoba memperbincangkan dari perspektif sosial budaya. Perspektif sosial-budaya dapat
diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan
sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan. Dengan demikian, konsep kebudayaan di sini dilihat dalam dua sisi. Dalam satu sisi, keadaan Indonesia dilihat sebagai subyek dari gejala yang dikaji yang di dalam keseluruhannya itu terdapat masyarakat manusia dengan
kebudayaannya. Untuk melihat itu, pada bagian awal tulisan ini akan
saya sajikan paradoks-paradoks kebudayaan yang tercermin (sebagai kasus)
pada kehidupan politik, pendidikan, tayangan mediatik, dan potret
keberagamaan masyarakat Indonesia. Sedang dalam sisi yang lain, ia (budaya) adalah alat untuk acuan atau kacamata dalam melihat, memperlakukan, dan memahami fenomena
tersebut. Dari dialektika antara fakta dan idealisasi, berikutnya
ditawarkan suatu alternative pendekatan holistic yang berlabel
multikulturalisme.
2. Paradoks-paradoks Kebudayaan
a. Politik Kesantunan
Pada tataran worldview, feodalisme adalah isme atau faham dan pandangan yang
secara diametral berlawanan dengan demokrasi. Sementara demokrasi dalam
siklus sejarah kehidupan social politik masyarakat bangsa-bangsa,
sejatinya bukanlah evolusi dari feodalisme, melainkan suatu
(hasil) perlawanan pada feodalisme itu sendiri. Sedang dalam fakta
kultural, yakni dalam kehidupan masyarakat – yang dalam sejarahnya
dilalui oleh kolonialisme – terbelah ke dalam dua “panutan” besar.
Pertama, kelompok yang sudah mapan dalam posisi (status, senioritas),
dan kedua, kelompok “bawah tanah” yang “merdeka” dan ingin memerdekakan umat, seperti para penggiat sosial.
Kelompok pertama,
sadar betul bahwa di balik faham feodalistik itu, mereka merasa
diuntungkan dan selalu ingin memperoleh keuntungan dalam situasi yang
“sudah mapan”: kedudukan, penghormatan, kenikmatan, dan ketaatan dan
kepatuhan pihak-pihak lain (bawahan, yunior) pada dirinya.
Kelompok kedua, justru melihat penjelasan, proses, dan fakta-fakta dalam
memperoleh berbagai kenikmatan dan kemudahan (kelompok pertama) berada
dalam ketidakadilan. Adagium yang hampir selalu memenuhi ruang-ruang
publik yang dikumandangkan ialah: kesamaan hak hidup (equality), keadilan hukum, dan semisalnya. Dalam perjalanan waktu yang mengglobal (globalization),
system politik yang feodalistik itu terpinggirkan, tetapi dalam
“peradaban” personal atau kelompok pemegang kekuasaan dalam berbagai
bidang dan lapangan sosial, “politik feodalistik” itu, justru dijadikan
“pakem tersembunyi” dalam mengatur siklus kehidupan bersama. Lalu di
mana “politik demokratik”-nya? Ia ada dalam “pakem terbuka”-nya,
sehingga yang terjadi dan yang sejatinya, ialah “demokrasi formal” atau
formalisme demokrasi atau demokrasi semu (quasi democracy) atau demokrasi seolah-olah. Karena itu, saya memberi definisi atas keadaan demikian dengan istilah demokrasi yang feodalistik.
Ciri-ciri dari demokrasi yang feodalistik ini ialah pertama,
sistem (proses pemilihan) kepemimpinan (formal maupun nonformal)
dilakukan secara demokratis, tetapi figure yang nantinya dibaptis
sebagai pemimpin – Individunya – sudah dipersiapkan. Harus “dia” bukan
“yang lain”. Figure “harus dia” secara umum didasarkan atas
WARISAN, baik warisan biologis, maupun warisan sosiologis atau
“aristokratis”, bukan “Individu yang terbuka” yang memiliki keunggulan (achievement) terbaiknya sesuai dengan lapangan kehidupan kelembagaan itu. Kedua,
dalam kepemimpinan yang berproses (dalam pemilihan) seperti ini, secara
umum dilandasi oleh etika “system komando”. Aturan dan undang-undang,
silakan dibuat dan dirumuskan, tetapi “kami yang memimpin kalian”,
memiliki hak-hak “otokratif” untuk menentukan keputusan. “Keputusan saya
adalah keputusan yang mengikat. Yang menjadi ketua, pemimpin, atau
kepala suku, atau rois am[5] itu, saya atau kalian?. Jadi kalau saya tidak suka, saya bisa memindahkan atau menurunkan (jabatan) kalian”.
Ketiga,
dengan “kekuasaan di tangan” seorang pemimpin (baca: penguasa) – yang
karena itu memiliki hak-hak otokratik demikian, maka (memaksa) etika
dalam kehidupan bersama (di dalam lembaga atau komunitas) itu, hampir
sepenuhnya didasarkan pada KEPATUHAN. Kepatuhan bawahan kepada atasan,
kepatuhan yunior kepada senior, dan seterusnya.
Strata sosial dan bangunan peradaban (cultural)
– sebagaimana di Indonesia, termasuk di dalam berbagai lembaga-lembaga
Negara, lembaga-lembaga social (agama, politik, ekonomi, dan
seterusnya), dan lembaga kerumahtanggaan (keluarga) hampir sepenuhnya
didasarkan atas “landasan etik” semacam ini. Seorang anak yang cerdas
yang mengusulkan jalan arternatif lain tetapi berbeda (apalagi
berlawanan diametric) dengan orangtuanya, dijawab dengan ketus: “Kowe kan cah wingi sore,
belum banyak makan asam garam kehidupan”. Seorang santri yang terlalu
kritis dan mengkritisi kiainya, oleh lingkungannya dilabelling sebagai su’ul adab. Bawahan yang berani menunjukkan kesalahan atasan (apalagi kalau dilakukan secara terbuka), belum ada ceriteranya mendapat reward (baca: penghargaan) tetapi yang umum justru di-marginalized (baca: disingkirkan).
b. Bidang Edukasi
Kata kunci dari semua persoalan kebudayaan adalah pendidikan. Internalization and socialization.
Pertanyaannya: apa dan bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai
kehidupan, apakah sekedar untuk bisa bertahan hidup atau menguasai
kehidupan?; Mensosialisasikan cara hidup yang kompetitif
atau mencegah untuk berkompetisi? Rasanya, pemikiran Sutan Takdir
Alisyahbana sekitar 70 tahun yang lalu (lihat dalam Polemik Kebudayaan,
tahun 1935-an) perlu dibuka kembali. Mengapa? Karena kebudayaan kita (hingga sekarang), tidak mengajarkan dua hal itu: menguasai kehidupan dan memenangkan kompetisi. Kebudayaan (internalisasi dan sosialisasi) yang tercermin dalam orientasi pendidikan
di dalam lembaga-lembaga pendidikan, nampaknya lebih diarahkan kepada
upaya mencapai keselarasan kepada alam dan keselarasan dalam kehidupan
sosial. Keduanya itu, sesungguhnya prototype dari peradaban petani. Dalam peradaban petani, keselarasan bermakna kepada penerimaan (terima ing pandum),
sehingga kepatuhan merupakan kata kunci dari kebaikan itu sendiri. Anak
yang baik ialah anak yang patuh kepada orangtuanya, kendatipun orangtua
memperlakukan dirinya secara tidak adil. Orang yang baik ialah orang
yang tahu empan papan dan angon mangsa dalam konteks asimetrikal: bawahan—atasan; anak – orangtua; dan yunior – senior. Hubungan asimetrik itu, menekankan dan ditekankan kepada konsep status diri, bukan kepada karya dan produk (prestasi), sehingga
sikap kritis apalagi diekspresikan secara lugas, bermakna sebagai
melawan, dan melawan diartikan sebagai pertanda permusuhan.
Konsep
patuh dalam tradisi petani ini rupanya dikukuhkan ke dalam peradaban
kraton yang bercorak feudalistic, dan peradaban Islam yang masuk ke
Indonesia yang bercorak sufistik (baca: akomodatif). Konsep patuh
lantas dimistifikasi sedemikian rupa, untuk dan atas nama keserasian
hidup yang adaptif. Jika cara seperti itu melahirkan ketidaknyamanan
atau penderitaan, tidak ditempatkan sebagai kondisi yang
harus segera diselesaikan secara rasional bertolak dari pengetahuan,
ketrampilan, dan kesanggupan untuk menghadapi resiko demi perbaikan
diri, melainkan untuk bisa diterima dan dihayati sebagai sebuah
keprihatinan, dengan sikap pasrah, sebagai model pertahanan diri: masih untung.
Ucapan: masih “untung” adalah “kekayaan” (rohaniah, atau mentalitas) dan karena itu “harus dipelihara sepenuh hati” sebagai internal defend mechanism
oleh mereka yang berkategori: wong cilik, rakyat – atas perlakuan raja,
wong gedhe, atau penguasa. Dalam konteks seperti inilah relasi
pendidikan dan kekuasaan, diproses dan memproses dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Karena itu, dalam budaya masyarakat Indonesia,
”tidak dikenal” bahkan di Indonesia istilah ”revolusi”, yang ada dan
yang didukung adalah istilah ”evolusi”. Tidak ada perubahan cepat, yang
ada adalah perubahan bertahap. Prinsip menyikapi hidup (yang serba
kompetitif) ini, satu selera bahkan sebagai peneguh atas ungkapan khas
Jawa: alon-alon asal kelakon[6].
Lantas, bagaimana
pendidikan dan kekuasaan itu diproses dan memproses dalam kehidupan
masyarakat Indonesia? Ternyata, desain yang digunakan adalah pendidikan
bukan sarana untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran besar
tetapi ia adalah kepanjangan atau bermula dari sistem pendidikan
keluarga yang bipolaristik. Orangtua yang ”sudah nyaman” sebagai
”priyayi” itu, tidak mempunyai waktu lagi untuk mendidik anak-anaknya
sendiri, sehingga muncul gagasan melahirkan lembaga-lembaga pendidikan.
Dengan demikian, lembaga pendidikan itu juga didesain berdasarkan suatu
model pembudayaan yang bersifat paternalistik.
Paternalisme dalam kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, adalah faham
yang menggambarkan bahwa senioritas: kakak, ayah, orangtua, guru, dosen,
pejabat, penguasa adalah sosok yang bijak. Karena
itu jika kakak, ayah, orangtua, guru, dosen dan seterusnya mendidik,
maka pendidikan itu dimaksudkan sebagai bukti kebaikan (memberi ilmu dan
kearifan) dan karena itu tidak sepatutnya kalau justru dibalas dengan
sikap berani, melawan, apalagi menantang. Begitu pula kalau pejabat atau
penguasa membuat atau melaksanakan aturan, maka aturan-aturan itu
sepenuhnya adalah untuk kebaikan rakyat sendiri. Apa yang berasal dari
atas(an) adalah anugerah. Inilah dictum yang dikembangkan oleh budaya
kita.
Apabila kita tidak
setuju atau kurang berbakat untuk menerima berbagai perlakuan dari
atas(an), baik itu bernama kakak (senior), ayah, orangtua, guru, dosen
dan sebagainya, maka reaksi yang dilakukan tidaklah dengan cara melawan,
melainkan harus merangkak secara pelan untuk (dalam siklus waktu atau
tahapan berkat keprihatinan) berubah diri menjadi senior, orangtua, atau
dosen. Pada saat seperti inilah kita hidup dalam dua kepribadian. Dalam
satu sisi, sudah menjadi “senior” (baru), tetapi pada sisi yang lain,
masih ada pihak-pihak yang lebih senior. Karena itu, membalas perlakuan
tidak adil, atau kekerasan seniornya itu dengan cara melakukan
ketidakadilan dan kekerasan kepada yuniornya (bawahan)[7].
Membalas dendam tetapi tidak kepada mereka yang memperlakukan tidak
adil atau berbuat kekerasan kepada kita, melainkan kepada yunior atau
bawahan. Analog dengan seorang ibu (isteri) yang
melakukan tindak kekerasan kepada anak-anaknya karena kekerasan yang
dilakukan suami kepada dirinya. Mentalitas seperti ini akan membentuk
kecenderungan umum yaitu: belah bambu. Kecenderungan menjunjung (sendiko dawuh) kepada yang atas, sekaligus menginjak-injak yang bawah.
c. Bidang Edukasi Mediatik
Media, terutama TV, mempunyai peran sangat besar untuk mengkonstruksi budaya masyarakat manusia. Apa
yang kita anggap sebagai realitas, seringkali adalah produk dari
pandangan media terhadap isu tersebut. Realitas terwujud dalam berbagai
bentuk sesuai dengan banyaknya media dan gambar. Dengan kata lain, simbol realitas telah menggantikan realitas itu sendiri.
Media massa bisa mempengaruhi bangunan budaya masyarakat. Aspek kognitif, afektif (perasaan) dan konatif (perilaku) penonton, dapat dipengaruhi oleh tayangan-tayangan televisi. Mengapa? Karena
implikasi dari frekuensi penyampaian yang intensif, yakni dalam rentang
waktu harian atau mingguan atau bulanan secara repetitif, dalam bentuk
penyampaian yang konstan melalui wahana cetak, suara dan gambar (audio
visual). Pada kasus media audio visual dari televisi misalnya, secara
menyeluruh mampu menstimulasi segenap panca Indra penonton secara
emosional hingga mampu mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan
perasaan penontonnya.
Di balik itu,
menguatnya pengaruh media terhadap masyarakat adalah karena masyarakat
itu sendiri berkepentingan untuk mereproduksi informasi yang dirujuk
dari media. Masyarakat atau khalayak mengalami ketergantungan terhadap
media karena hendak memenuhi kebutuhan akan informasi serta mencapai
tujuan tertentu dari proses mengkonsumsi media. Meskipun demikian,
ketergantungan bukan berarti memiliki kesamaan dalam mengakses semua
media. Sumber ketergantungan itu terutama dipicu oleh aspek kelengkapan
atau akurasi dan komprehensivitas anasir informasi yang disajikan, di
samping oleh kebiasaan yang diciptakan situasi sosial atau lingkungan
khalayak.
Ini artinya, kendati
media massa memiliki peran penting untuk dan terhadap perubahan
kebudayaan, tetapi masyarakat itu memiliki pilihan-pilihan rasional
tersendiri ketika jumlah media massa yang tersedia relatif banyak. Tidak
semua yang ditawarkan/tayangkan memperoleh respon yang signifikan.
Padahal, lembaga penyiaran itu sendiri – umumnya bisa bertahan eksis
ketika memiliki penonton/pendengar yang jelas. Kejelasan
penonton/pendengar akan berpengaruh kepada banyak masuknya iklan. Lewat
dana iklan itu pula, lembaga penyiaran bisa menghidupi lembaga termasuk
pegawainya.
Kalau begitu, apakah
lembaga penyiaran itu mengikuti selera penonton/pendengarnya agar rating
dan pemasukan menaik? Atau sebaliknya, yakni secara sepihak menentukan
jenis dan bentuk tayangan/siaran yang dianggap “bermutu” dalam kerangka
meningkatkan kualitas “budaya” penikmatnya? Di sinilah dilemanya.
Tayangan/siaran yang sering bercorak low taste journalism itu,
umumnya dinilai memiliki rating tinggi, sehingga oleh banyak stasiun
televisi/radio, ditayangkan pada prime time. Sementara tayangan/siaran
yang lebih edukatif dan mengangkat kualitas peradaban, terpinggirkan.
Alasan klasik pun muncul: demi eksistensi stasiun televisi/radio itu
sendiri. Eksistensi diukur oleh ukuran ekonomi.
Sejumlah sinetron yang ditayangkan berbagai televisi, umumnya berciri, pertama, mereduksi realitas
– yaitu menjelaskan “keberhasilan perjuangan hidup” ditempuh dengan
jalan SERBA KEBETULAN. Misalnya, pemuda kampung mengadu nasib di kota,
lalu menjadi pembantu rumahtangga, lalu pada saat membersihkan kamar
mandi sambil bernyanyi, lagu juragannya mendengarkan dan tertarik, lalu
ybs disuruh rekaman, lalu menjadi penyanyi tenar dan kaya raya. Woyla.
Jika “terjadi demikian adanya”, maka kejadian itu hanya terjadi satu
untuk/ dari satu juta atau lebih manusia.
Ciri kedua,
hubungan antarmanusia digambarkan lewat karakter hitam putih dan
interaksi manusia dibangun secara asimetris. Misalnya, seseorang yang
berperan sebagai tokoh antagonis digambarkan mulai dari A – Z, atau dari
bangun tidur sampai mau tidur kembali tetap berwajah iblis:
marah-marah, angkuh, jahat, menyiksa dan tidak manusiawi lagi. Padahal,
kendati Sumanto sempat memakan daging mayat manusia, dia juga memiliki
kasih sayang kepada sesama. Dalam teori Segmund Freudnya, yang namanya
manusia itu memiliki potensi id dan superego. Ketiga,
interakasi dibangun secara asimetris. Misalnya, juragan itu kerjanya ya
memerintah, menyuruh, dan berkata kasar. Sementara yang namanya pembantu
itu, tidak cerdas, bodoh, harus mengikuti (mengiyakan) perintah juragannya
sekalipun menurut akal yang tidak waras sekalipun, suruhan juragan itu
tidak masuk akal. Inilah ciri-ciri paradigmatik yang merusak peradaban
manusia Indonesia. Hubungan juragan – kuli; manager – staf, orangtua –
anak, tidak dibangun secara resiprositas manusiawi melainkan hubungan hirarkis
rimbawi. Padahal sejatinya, hubungan juragan-kuli dan seterusnya itu
adalah hubungan “balas-jasa” sesuai dengan peran dan tugas yang
dimainkannya. Dalam filosofi (Jawa) dikatakan: “dihormati karena bisa
menghormati”. Jadi, bagaimana media bisa ikut membangun peradaban
manusia kalau di dalam kognisi stakeholdernya rendah peradabannya.
Celakanya lagi,
bangunan tayangan penyiarannya sudah sedemikian rendah peradabannya,
juga dibumbui dengan iklan-iklan (copywriting) yang menjadi
“sponsorship” atas tayangan/siaran tersebut, dengan cara-cara yang
menyuruh orang menjadi ler, bermimpi, dan menina-bobokkan. Terlalu
jarang iklan-iklan yang bisa menginspirasi penontonnya untuk mulai
bekerja keras, disiplin, pantang menyerah, serta human(itis).
d. Bangunan Keagamaan
Ada setidaknya tiga penjelasan bagaimana kekerasan dibawa ke ranah agama. Pertama, agama dibawa-bawa oleh negara dan penguasa untuk menjustifikasi dan melegitimasi keputusan-keputusan politik kekuasaan. Kedua,
pihak-pihak yang memanfaatkan dan mengatasnamakan lembaga-lembaga agama
yang mengembangkan sayap kekuatan untuk merespons keputusan politik dan
praktik-praktik pemerintahan, atau memanfaatkan ideologi keagamaan
untuk kepentingan-kepentingan lembaga-lembaga, organisasi-organisasi,
kelompok-kelompok keagamaan, atau partai-partai yang mendasarkan diri
pada azas keagamaan itu sendiri. Ketiga,
Indonesiaividu-Indonesiaividu yang merasa terpanggil untuk menghentikan
kekerasan, kemaksiatan, dan berbagai keburukan lainnya menurut
tafsiran-tafsiran sesuai selera yang merasa terabsahkan bagaimana
menyelesaikan persoalan dimaksud dengan menggunakan kekerasan.
Penggunaan agama sebagai alat justifikasi bagi
negara, seringkali memiliki dua sayap. Sayap pertama berupa pemanfaatan
agama untuk memudahkan program dan proyek-proyek pemerintah itu bisa
diterima rakyatnya. Pada sayap ini, terjadi pengerahan secara
besar-besaran para tokoh agama untuk menjelaskan ”kemauan yang baik”
pemerintah, seperti program Keluarga Berencana. Wacana keagamaan dalam
konteks ”keluarga baik,” diukur lewat entitas atau kuantitas jumlah anak
dalam keluarga. Ketika agama dipakai sebagai alat sosialisasi, maka
dalam aplikasi di lapangan hampir selalu terjadi distorsi-distorsi
karena hampir semua program pemerintah itu dievalusi keberhasilannya
berdasarkan target pencapaian. Dalam konteks seperti ini, aparat-aparat
pemerintah, tidak lagi bicara soal proses dan kondisi-kondisi yang
menjadi persyaratan yang menjadikan ”pencegahan kehamilan dan kelahiran”
itu diperbolehkan menurut syariat agama. Para aparat pemerintah, tidak
hanya tidak tahu mengenai bagaimana landasan syar’i dalam konteks
seperti ini, tetapi juga karena kemauan pragmatis negara yang harus
dijalankan, dalam hal mana mereka menjalankan tugas atas nama negara dan
evaluasi kinerja aparat itu sendiri. Di sinilah pemaksaan kehendak
bahkan kekerasan sepertinya ”disahkan” kehadirannya dengan
mengatasnamakan agama.Pada sayap kedua, adalah memperlakukan hak negara untuk menentukan mana agama yang disahkan dan karena itu ada agama yang tidak sah. Negara mensahkan suatu agama tertentu sama artinya kekuasaan negara melampaui kekuasaan Tuhan itu sendiri, sehingga memunculkan kondisi seperti berlangsungnya kekerasan agama. Kekerasan dilakukan oleh suatu kelompok agama kepada kelompok agama lainnya. Tuhan dibayangkan sebagai ”pecandu perang” sehingga kekerasan dan perang dimaknai sebagai ”persembahan” kepada Sang Tuhan. Dalam bahasa Komarudin Hidayat, ”atas nama Negara, sebuah rezim bisa memberangus agama karena beranggapan, berbeda agama berarti berbeda Tuhan, dan perbedaan berarti ancaman bagi yang lain sehingga negara tampil sebagai hakim”[8]. Dalam konteks ini, agama lebih dilihat sebagai institusi, dan tidak dalam apresiasi. Di sinilah perilaku ambevalensi negara dalam kaitannya dengan agama. Agama hanya dipanggil ketika ada kebutuhan legitimasi dan dicampakkan ketika menagih tanggung jawab moral[9].
Penggunaan agama oleh
lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok keagamaan dalam bentuk-bentuk
kekerasan, bisa dan mudah timbul ketika ia dibawa ke dalam ranah politik
kekuasaan. Di sinilah “ada”
bahayanya jika agama dibawa ke dalam ranah politik. Bahaya itu muncul
ketika penggunaan agama, tidak dalam konteks landasaan etik, melainkan
sebagai identitas. Ketika agama sebagai identitas, maka muncul
kencenderungan bagi “pemilik” lembaga ataupun partai politik, melakukan
dua hal sekaligus yaitu (1) kepentingan disakralisasi dengan
mengatasnamakan Tuhan, dan (2) menghakimi pihak lain yang berbeda
pandangan sebagai pandangan yang menyesatkan, sehingga dengan mudah
menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan tadi dengan tIndonesiaak
kekerasan atas nama menjaga kebesaran Tuhan. Dengan proposisi “atas nama
Tuhan”, maka logika yang dimainkan oleh penganut yang sekaligus merasa
sebagai “pemilik” agama itu adalah “pembenaran”, sehingga kecenderungan
umum manusia adalah menyuguhkan gejala-gejala atau fakta-fakta yang
diikuti dengan interpretasi secara ethnocentric. Di sinilah lalu “permusuhan” dan “kekerasan” adalah disahkan atas nama (agama) Tuhan.
Hadirnya berbagai kekerasan yang
dialamatkan atau yang dilakukan oleh mereka yang secara luaran
menggunakan atribut-atribut agama, hingga dewasa ini masih sering
terjadi. Budaya kekerasan yang berlaku dan dilakukan oleh “umat”
beragama dalam kehidupan sosial yang majemuk seperti Indonesia ini,
akarnya bisa dilihat dari dua sisi, internal dan eksternal.
Pada sisi internal, kekerasan itu bisa lahir karena pertama,
kecintaan yang terlalu mendalam (fanatisme-sempit) terhadap agama yang
dipeluk sehingga menafikan adanya agama-agama lain di luar sana. Nalar
keagamaan seperti ini, diakui atau tidak, masih sering muncul dari para
penyiar agama-agama itu sendiri. Kedua, munculnya
ketidakpuasan dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam kehidupan
politik, ekonomi, sosial, hukum, dan sebagainya. Keresahan kolektif atas
kondisi yang “sangat tidak ideal” seperti rusaknya tatanan hukum,
lemahnya penegakan hukum terhadap pengianatan bangsa seperti yang
dilakukan oleh para koruptor, merebaknya pornografi, rusaknya tatanan
sosial, dan sebagainya, ditarik langsung sebagai akibat negara,
pemerintah, dan masyarakat, tidak menggunakan landasan agama “yang
dipeluknya”.
Kecintaan yang terlalu mendalam
(fanatisme-sempit) terhadap agama yang dipeluk, merupakan pertanda dari
“gagalnya” para tokoh agama bagaimana “membumikan” agama dalam kehidupan
sosial yang beranekaragam, baik keragaman dalam tataran nurture maupun culture.
Ketika pemeluk agama ini sudah tumbuh keyakinan bahwa “agama yang
dipeluknya”-lah yang benar, dan tidak ada penjelasan lain bahwa mereka
yang berada di luar, juga memiliki hak untuk menyatakan yang sama
terhadap agamanya. Karena kelupaan untuk menjelaskan hal ini, atau
memang sengaja diabaikan, maka tIndonesiaakan pihak-pihak yang berbeda
agama, kendatipun tIndonesiaakan itu berlabel “ibadah” atas
nama agamanya masing-masing, cenderung dinilai sebagai ancaman bagi
kelompok pemeluk agama yang berbeda. Apalagi kalau fenomena seperti itu
ditarik secara melebar ke ranah politik atau ekonomi.
Karena melihat pihak lain sebagai
“ancaman”, maka bahasa yang digunakan dan disosialisasikan adalah
bahasa-bahasa yang mengandung cita rasa “kekerasan”, seperti “waspada”,
“pelecehan agama”, “kemungkaran”, kekafiran, dan perang. Dari sinilah
skala konflik-keagamaan mulai memperoleh tempat persemaian. Ketika
“peneguhan iman” dalam satu segi sudah menguat, dan kecurigaan atas
perlakukan atau tIndonesiaakan umat lain, ditafsirkan sudah mengedepan,
maka perang dan memerangi orang-orang kafir (karena melakukan secara
sengaja berbagai kemungkaran) di bumi ini, menjadi adagium keagamaan itu
sendiri. Melakukan kekerasan lantas tidak ditempatkan sebagai
“kekeliruan” di dalam menerapkan ajaran agama, tetapi justru ditempatkan
sebagai tanda oleh pelakunya masih adanya spirit (ghirrah) keimanan diri.
Hadirnya berbagai kekerasan yang
dialamatkan atau yang dilakukan oleh mereka yang secara luaran
menggunakan atribut-atribut agama, hingga dewasa ini masih sering
terjadi. Budaya kekerasan yang berlaku dan dilakukan oleh “umat”
beragama dalam kehidupan sosial yang majemuk seperti Indonesia ini,
akarnya bisa dilihat dari dua sisi, internal dan eksternal.
Pada sisi internal, kekerasan itu bisa lahir karena pertama,
kecintaan yang terlalu mendalam (fanatisme-sempit) terhadap agama yang
dipeluk sehingga menafikan adanya agama-agama lain di luar sana. Nalar
keagamaan seperti ini, diakui atau tidak, masih sering muncul dari para
penyiar agama-agama itu sendiri. Kedua, munculnya
ketidakpuasan dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam kehidupan
politik, ekonomi, sosial, hukum, dan sebagainya. Keresahan kolektif atas
kondisi yang “sangat tidak ideal” seperti rusaknya tatanan hukum,
lemahnya penegakan hukum terhadap pengianatan bangsa seperti yang
dilakukan oleh para koruptor, merebaknya pornografi, rusaknya tatanan
sosial, dan sebagainya, ditarik langsung sebagai akibat negara,
pemerintah, dan masyarakat, tidak menggunakan landasan agama “yang
dipeluknya”.
Kecintaan yang
terlalu mendalam (fanatisme-sempit) terhadap agama yang dipeluk,
merupakan pertanda dari “gagalnya” para tokoh agama bagaimana
“membumikan” agama dalam kehidupan sosial yang beranekaragam, baik
keragaman dalam tataran nurture maupun culture. Ketika
pemeluk agama ini sudah tumbuh keyakinan bahwa “agama yang
dipeluknya”-lah yang benar, dan tidak ada penjelasan lain bahwa mereka
yang berada di luar, juga memiliki hak untuk menyatakan yang sama
terhadap agamanya. Karena kelupaan untuk menjelaskan hal ini, atau
memang sengaja diabaikan, maka tIndonesiaakan pihak-pihak yang berbeda
agama, kendatipun tIndonesiaakan itu berlabel “ibadah” atas
nama agamanya masing-masing, cenderung dinilai sebagai ancaman bagi
kelompok pemeluk agama yang berbeda. Apalagi kalau fenomena seperti itu
ditarik secara melebar ke ranah politik atau ekonomi.
Karena melihat pihak
lain sebagai “ancaman”, maka bahasa yang digunakan dan disosialisasikan
adalah bahasa-bahasa yang mengandung cita rasa “kekerasan”, seperti
“waspada”, “pelecehan agama”, “kemungkaran”, kekafiran, dan perang. Dari
sinilah skala konflik-keagamaan mulai memperoleh tempat persemaian.
Ketika “peneguhan iman” dalam satu segi sudah menguat, dan kecurigaan
atas perlakukan atau tIndonesiaakan umat lain, ditafsirkan sudah
mengedepan, maka perang dan memerangi orang-orang kafir (karena
melakukan secara sengaja berbagai kemungkaran) di bumi ini, menjadi
adagium keagamaan itu sendiri. Melakukan kekerasan lantas tidak
ditempatkan sebagai “kekeliruan” di dalam menerapkan ajaran agama,
tetapi justru ditempatkan sebagai tanda oleh pelakunya masih adanya
spirit (ghirrah) keimanan diri.
Membiarkan mind-set atau cara berfikir dan cara menanggapi the self dan the others
demikian, maka akan mudah diramalkan bahwa ke-beragam-an agama yang ada
itu akan tetap menjadi lahan subur untuk lahirnya konflik sosial,
kendatipun bersifat latensial.
Konflik latensial akan mudah berubah menjadi konflik manifest ketika ruang untuk itu memungkinkan. Akan bisa menjadi konflik manifest
kalau ketidak-adilan, lemahnya penegakan hukum, dan merosotnya moral
masyarakat secara kolektif, ditanggapi sebagai tidak semata-mata karena
ukuran kualitas keimanan Individu-Individu, tetapi lebih dilihat secara
agregat sebagai tanda (1) tumbuhnya sikap masa bodoh negara terhadap
keadaan yang dinilai sudah jauh meninggalkan nilai moral, dan (2)
banyaknya tokoh agama yang mulai lebih tertarik kepada kepentingan
pragmatis seperti kekuasan dan materi. Dari fenomena tersebut itulah
lalu menghadirkan kepada sejumlah orang untuk melihat
keadaan tadi sebagai tantangan bagi umat yang masih punya iman. Dari
sinilah lalu memunculkan kebutuhan spiritualitas keagamaan yaitu
merindukan Tuhan melalui caranya sendiri, sekalipun cara-cara yang
ditempuhnya, adalah cara kekerasan.
Tindakan
seperti itu, bisa saja timbul dan hidup dalam persemaian selama mereka
melihat berbagai kebobrokan moral aparat pemerintah maupun rakyat
sebagai akibat langsung dari ’berpaling dari agama’. Karena
itu, tumbuh kebutuhan mereka untuk menjadikan dua hal, yaitu
mengembalikan agama, tidak saja menjadi landasan ideal tetapi juga
landasan hukum (syar’i) dalam kehidupan bersama. Islam sebagai agama dan negara (innal al Islam Din wa Daulah),
dan setiap umat Islam berkewajiban memurnikan bukan saja ajaran tetapi
juga dalam praktik-praktik keagamaan menurut teks agama.
Dalam pandangan kelompok ini, Islam tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan semata, tetapi juga memuat ajaran tentang hubungan
antar sesama manusia, baik dalam aspek sosial maupun politik
kenegaraan. Dalam format demikian, Islam merupakan tipikal
sosio-politik, di mana fungsi agama dan politik tidak dapat dipisahkan
melainkan harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam satu wadah
yang bernama “Negara Islam”.
Gagasan politik Islam
demikian itu, bergerak ke arah penguatan basis umat Islam sebagai modal
politiknya dan menempatkan Islam sebagai ideologi gerakannya. Keduanya
bergerak dengan dilandasi teologi politik yang kuat dan mengakar dalam
ide dan sikapnya sebagai penganjur gerakan Islam fundamentalis atau radikalis.
Pengertian radikalisme[10] itu sendiri adalah “prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilakukan secara radikal[11]. Ia merupakan kata lain dari ekstremisme,[12] militanisme, atau fundamentalisme.[13]
Istilah-istilah itu digunakan dalam banyak pengertian yang
berbeda-beda, tetapi yang jelas, istilah-istilah tersebut tidak terbatas
tertuju pada Islam, termasuk juga tidak terbatas pada kegiatan agama,
karena banyak contoh tentang fundamentalisme dalam beberapa gerakan
politik yang mempunyai ideologi-ideologi sekuler, jika bukan ateis[14] yang memiliki watak radikal.
Ciri-ciri umum dari
fundamentalisme Islam ialah: (a) gerakan-gerakan Islam yang secara
politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara budaya menjadikan
Barat sebagai the others; (b) memiliki prinsip yang mengarah pada paham perlawanan (oppotionalisme);
(c) penolakan terhadap hermenitika karena pemahaman alquran sepenuhnya
adalah skriptualistik; dan (d) secara epistemologis, dalam wilayah
gerakan sosial-politik menolak pluralisme dan relativisme; serta (e)
penolakan perkembangan historis dan sosiologis, karena dalam pandangan
mereka, “umat manusia yang tengah melakukan aktivisme sejarah di dunia
harus menyesuaikan teks al Qur’an, bukan sebaliknya”[15].
Sementara konsep “religio
politik” di sini analog dengan “sosio-politik”. Jika yang akhir ini
dimaknai sebagai “kekuatan dan penguatan politik dalam kehidupan
sosial”, maka “religio-politik” bisa dimaknai sebagai “kekuatan dan
penguatan politik dalam kehidupan keagamaan”. Kata “politik”
di samping bisa mengacu pada “kegiatan berpolitik”, tetapi bisa juga
mengarah dan diarahkan kepada “strategi” (baca: strategi adaptasi atau
strategi merespons) yang berkembang dan yang dikembangkan oleh suatu
kelompok masyarakat dalam kerangka meneguhkan, mengembangkan, atau
mempertahankan diri sesuai apa yang mereka ketahui dan yakini mengenai
ajaran agama yang dipeluknya. Dengan demikian, “radikalisme religio
politik”, secara spesifik berarti “paham2, sikap-sikap, dan
strategi-strategi termasuk praktik-praktik (tIndonesiaakan) yang
berjalan dan dijalankan oleh kelompok-kelompok masyarakat (keagamaan)
dalam kerangka meneguhkan, mengembangkan, atau mempertahankan ajaran
agama yang diikuti dengan cara-cara radikal”. TIndonesiaakan radikal
dipilih bisa karena dipahaminya sebagai ajaran, pandangan, atau
pensikapan yang terkait langsung atau tidak langsung dengan kepentingan
agama maupun kepentingan warga komunitas keagamaan itu sendiri, atau
karena adanya tekanan-tekanan dari luar.
Dalam bidang politik, seperti halnya dalam bidang agama[16], radikalisme atau terkadang disebut fundamentalisme[17],
diberi arti sebagai suatu pendirian yang tegas dan tidak ragu-ragu
bahwa keyakinan-keyakinan tertentu tentang suatu kebenaran – biasanya
diambil dari teks-teks suci – merupakan kewajiban orang-orang beriman
untuk menggiatkan kehidupan mereka dan mengarahkan aktivitas-aktivitas
mereka sesuai dengan keyakinan-keyakinannya itu, sehingga untuk beberapa
hal membenarkan penggunaan istilah “militan”.[18] Militansi di sini, umumnya terkait pada ciri usaha merombak secara total suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan dan dengan
semangat militan. Sikap militan itu ditunjukkan dari gerakan-gerakannya
yang bersifat agresif, gemar atau siap “berjuang”, bertempur,
berkelahi, atau “berperang”, terutama untuk memperlihatkan pengabdian
mereka yang total terhadap suatu cita-cita. Sikap radikal
dan tidak-tolerant demikian itu, adalah karena “mereka menyederhanakan
persoalan yang ada dalam suatu masyarakat secara berlebih-lebihan. Mereka melakukan oversimplikasi terhadap persoalan yang ada”[19].
Pilihan kepada sikap radikal demikian itu, sering mengalami ketegangan bahkan terkadang konflik[20] dengan lingkungan mereka. Dalam suasana ketegangan itu pula, kesan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin“, sering dipertanyakan oleh warga masyarakat luar yang sudah terbiasa hidup di dalam kehidupan yang multi-kultural[21] dan multi-etnik. Apalagi kalau cara-cara “memperjuangkan tegaknya Islam” dengan klaim jihad[22] untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetapi dengan cara-cara kekerasan.
Fenomena dari terjadinya terorisme
sebagaimana yang akhir-akhir ini “terjadi” di Indonesia, akarnya bisa
dilihat dalam dua sisi kepentingan yang bertabrakan dan ditabrakkan.
Bertabrakan terjadi sebagai akibat “undesigned actions”, sedang ditabrakkan terjadi oleh adanya “actions by design”. Yang pertama, yaitu “undesigned actions” adalah karena peristiwa-peristiwa radikalitas keagamaan itu muncul sebagai bentuk atau
respons “umat beriman” yang dengannya merasa terpanggil untuk melakukan
perubahan-perubahan secara radikal, sekalipun harus menyerahkan jiwa
sendiri. Tentu pilihannya itu – berdasarkan atas tafsir sepihaknya.
Sedang ditabrakkan atau actions by design adalah strategi
memenangkan kompetisi peradaban global yang berporos kepada kepentingan
kekuasaan dan ekonomi kapitalistik pada tataran negara-negara.
Berdasarkan pada pendekatan actions by design, kemunculan terorisme bisa dijelaskan ke dalam dua sisi juga, yakni sisi eksternal dan sisi internal. Pada sisi eksternal, munculnya terorisme – dalam batas-batas tertentu bisa dilihat sebagai desain alias kepentingan negara-negara Barat, khususnya Amerika dan sekutunya. Desain itu bertolak pada prejudice Barat secara berlebihan. Dalam pandangan mereka, ”kebangkitan
umat Islam akan membahayakan eksistensi kejayaan mereka. Agar Islam
tidak bangkit, perlu dilakukan strategi, yaitu Islam harus dicitrakan
sebagai sebuah agama yang kejam, yang tidak berkemanusiaan, dan yang
gemar membunuh orang seenaknya. Target di balik pengembangan prejudice seperti itu ialah agar kebangkitan Islam akan ditolak oleh peradaban kemanusiaan”. Untuk itu, Barat sengaja memberi ruang dan menciptakan ruang untuk timbulnya banyak radikalisme di kalangan umat Islam sendiri.[23]
Ketika sebagian umat Islam terjebak masuk ke dalam perangkap itu,
lantas masyarakat Barat mudah membuat stigma. Islam dan umat Islam
distigma dengan stigma: fundamentalisme, ekslusifisme, dan terrorisme.
Islam, hanyalah denominasi agama dan kepercayaan yang menghasilkan
fanatisme[24]”.
Sedang dari sisi internal, ”kaum
teroris itu berdalih bahwa mereka melakukan untuk melawan Amerika dan
sekutunya”. Mengapa? Karena mereka berpandangan bahwa Amerikalah yang
lebih dahulu mengajarkan dan mempraktikkan terrorisme yaitu dengan
membumihanguskan Afganistan dan Irak. Dari akar pandangan inilah maka
mereka berdalih bahwa apa yang dikerjakan adalah sebagai imbangan dan
perlawanan. Melawan Amerika dan sekutunya yang telah berbuat teror, adalah didefinisikan sebagai terrorisme hasanah, atau terrorisme yang berkategori baik, karena didasarkan pada argumen keagamaan yang kuat[25]. Dari paham ini pula, menjadi bisa dijelaskan bahwa terorisme terjadi dalam tiga kemungkinan. yaitu: pertama, terdapat konsprirasi besar dari luar yang ingin menghancurkan Islam dari dalam. Kedua, terdapat teks-teks dalam Alquran dan Hadits yang dijadikan sandaran untuk melakukan kekerasan, dan ketiga, ada yang salah dalam proses pendidikan kita sehingga berpeluang melahirkan agen-agen teroris”.[26] Namun demikian, apapun istilah dan penyebabnya, cara-cara terorisme dengan dalih apapun, adalah suatu kebiadaban. Dengan teror, agama-agama dan peradaban-peradaban manusia, tidak
lagi menjadi tupangan hidup dalam kedamaian tetapi menjadi penyalur dan
saluran kebencian, kedendaman, dan tidak kekerasan, apalagi kalau
sasaran dari kesemuanya itu adalah mereka yang tidak tersangkut-paut ke
dalamnya. Tuhan menciptakan dan menghidupkan manusia, tetapi mengapa di
antara manusia itu sendiri membunuh di antara sesama.
e. Desain Pembangunan
Membangun partisipasi rakyat terhadap program-program pembangunan fisik maupun nonfisik adalah suatu perencanaan sosial (social planning)
yang mengarahkan kepada pembentukan pemahaman bersama secara simpatik,
sehingga di dalam diri rakyat itu sendiri timbul kebutuhan untuk ikut
terlibat secara positif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Keterlibatan yang dimaknai oleh mereka berdasarkan atas
konsekuensi-konsekuensi logis yakni ikut membantu, baik dalam arti
material seperti tumbuh inisiatif untuk menggalang dana-dana yang
dikumpulkan dari masyarakat sendiri maupun dalam arti immaterial berupa
sumbangan pemikiran dan keikutsertaan untuk bertanggungjawab. Nilai
penting dari tumbuhnya partisipasi masyarakat demikian adalah pertama,
tumbuhnya persepsi masyarakat bahwa pemerintah dan pejabat pemerintah
akan dinilai sangat positif. Kedua, ketika persepsi positif itu sudah
tumbuh, maka respons dalam bentuk sikap dan tIndonesiaakan
yang diekspresikan juga akan positif. Tumbuhnya respons yang positif
demikian ini, bukan saja akan mengurangi beban pemerintah tetapi juga
akan melahirkan pemahaman baru bahwa rakyat dan pemerintah perlu bersatu
dan menyatu. Kalau kondisi demikian sudah tumbuh, maka apa yang selama
ini kita inginkan yaitu kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
daerah akan tumbuh dengan sendirinya. dan inilah sebetulnya modal dasar
pembangunan yang sangat menentukan terhadap berhasil atau tidaknya
program-program pembangunan dilihat dari perspektif sosial-budaya.
Model pendekatan
sosial-budaya pada dasarnya adalah suatu model berfikir, merencanakan,
melaksanakan, dan mengontrol suatu aktivitas dengan menggunakan
paradigma yang secara umum dimengerti, digunakan, dan dipilih atau
disepakati oleh warga masyarakat umum sebagai model yang paling
dikuasai. Dengan demikian, pendekatan sosial-budaya merupakan the inside-model,
yakni model dari dalam. Pentingnya merencanakan, melaksanakan, dan
melakukan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan beserta dengan
pengawasan-pengawasannya berdasarkan atas perspektif sosial-budaya
adalah pembangunan dan hasil-hasil pembangunan itu adalah milik dan
tanggungjawab bersama, dan bukan milik dan tanggungjawab pemerintah
sebagaimana kesan umum yang terjadi pada pemerintahan era orde-baru.
Pentingnya menggunakan the inside-model adalah
pertama, bahwa warga masyarakat akan mau berpartisipasi terhadap suatu
pembangunan kalau mereka memahami dengan sangat baik mengenai apa makna
pembangunan itu bagi dirinya. Makna di sini meliputi dua hal penting
yaitu dari sudut kekinian dan dari sudut masa depan. Pada sudut kekinian
penjabarannya adalah bahwa program pembangunan yang ditawarkannya itu
haruslah bukan persoalan yang sangat asing di dalam pengalaman empirik
warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, program-program
pembangunan yang dipilih sepatutnya didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan
yang dianggap paling mendasar bagi kebutuhan warga masyarakatnya
sendiri. Yang kedua, ketika jenis pembangunan itu dianggap familiar
dengan persoalan dan pengalaman warga masyarakat itu, maka jika hal itu
dikerjakan, harapan-harapan macam apa yang bisa diperoleh
untuk masa-masa mendatang haruslah jelas. Kejelasan itu perlu dilihat
dalam konteks peningkatan kesejahteraan warga masyarakat secara umum dan
bukan hanya untuk segelintir orang. Jadi,
membangun partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan hanya
bisa dilakukan kalau kita telah melakukan beberapa pentahapan:
Pertama,
kita harus mengetahui secara tepat nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan,
dan norma-norma yang dijadikan acuan warga masyarakat. Pertanyaannya
ialah bagaimana merencanakan suatu program pembangunan yang selaras
dengan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma yang ada; atau
bagaimana menjelaskan arah pembangunan yang ditempuh itu agar tidak
bertabrakan. Dengan kata lain, program pembangunan itu sebetulnya bisa
mengukuhkan nilai-nilai tersebut. Kesulitan untuk menjawab pertanyaan
ini ialah jikalau kita sendiri belum memiliki pengetahuan mendasar
mengenai sistem nilai dan sistem norma termasuk kebiasaan-kebiasaan
warga masyarakat itu sendiri.
Kedua, apabila
sistem nilai, dan sistem norma masyarakat sudah kita pahami, lalu
bagaimana persepsi masyarakat terhadap jenis-jenis program pembangunan
yang ditawarkan. Dengan kata lain, siapa yang paling diuntungkan kalau
suatu program pembangunan dijalankan? Apakah pemerintah daerah, apakah
rakyat, atau orang lain misalnya investor, padaenganang, dsb? Perlu pertanyaan kritis: pada sisi mana rakyat memperoleh keuntungan terhadap program pembangunan tersebut? Rakyat
yang memperoleh keuntungan itu, rakyat pada kategori-kategori apa?
Pertanyaan demikian ini tentu tidak mudah dijawab kalau kita sendiri
tidak memiliki informasi yang cukup mengenai problem-problem yang umum
dihadapi dan dirasakan warga masyarakat dalam kaitannya dengan
pengembangan diri, seperti pengembangan di dalam kegiatan ekonomi,
kegiatan sosial, keagamaan, maupun kegiatan sosial-budaya. Mengapa?
Sebab manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok yang
harus-kebutuhandapat terpenuhi yaitu kebutuhan-primer, kebutuhan
sekunder, dan kebutuhan tertier seperti kebutuhan akan rasa aman, dan
aktualisasi diri. Ini berarti bahwa setiap rancangan pembangunan harus
bisa dijelaskan secara tepat nilai kegunaannya bagi warga masyarakat
dalam konteks pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tadi – jika kita menginginkan mereka ikut berpartisipasi.
Ketiga, apabila
kita sudah bisa merancang suatu program pembangunan yang sesuai dengan
sistem nilai dan sistem norma masyarakat, serta program pembangunan itu
diyakini dapat memberi keuntungan bagi warga masyarakat oleh karena
pembangunan itu ada kaitannya dengan fasilitasi pemenuhan kebutuhan,
maka pertanyaan berikutnya yang perlu diajukan ialah bagaimana warga
masyarakat itu merespond dan ikut bertanggungjawab untuk memberikan
sumbangan, pemeliharaan, dan mengontrol segala hal yang terkait dengan
pembangunan tersebut? Dengan kata lain, bagaimana menumbuhkan sikap sense of belonging (sikap ikut handerbeni) masyarakat. Kalau sense of belonging masyarakat
sudah terbentuk, maka pemerintah daerah akan relatif mudah menjalankan
roda pemerintahan terutama dalam kaitannya dengan masalah pembangunan
daerah.
Untuk dapat terciptanya kondisi
ideal demikian itu, dibutuhkan informasi yang cukup sehingga perencanaan
dan pelaksanaan program pembangunan tidak salah alamat. Untuk itu,
menjadi sangat mendesak untuk dilakukan penelitian sosial budaya masyarakat dengan pendekatan-pendekatan sosial-budaya.
Pendekatan Sosial Budaya
Penelitian sosial budaya meliputi dua hal penting yaitu substansi dan metodologi. Dari
segi substansi, penelitian sosial-budaya meliputi masalah-masalah yang
dianggap terpenting dalam kehidupan mereka sebagai makhluk sosial dalam
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis, sosial, dan
adab.
Kebutuhan-kebutuhan biologis
sebagai kebutuhan primer manusia adalah kebutuhan-kebutuhan untuk makan,
minum, tempat tinggal, dsb. Untuk dapat terpenuhinya kebutuhan biologis tersebut,
masyarakat manusia melakukan serangkaian tIndonesiaakan ekonomi seperti
bertani, berdagang, berwirausaha, dsb. Pekerjaan-pekerjaan itu
dilakukan atas dasar pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, norma-norma, dan
nilai-nilai yang dipandang baik dan benar agar dapat terpenuhinya
harapan-harapan pemenuhan akan kebutuhan tersebut dan keseluruhan dari
tIndonesiaakan-tIndonesiaakan itu dapat diterima secara sosial. Kalau
kebutuhan biologis itu terpenuhi atau untuk mencapai pemenuhan kebutuhan
biologis itu, masyarakat manusia membutuhkan pemenuhan
kebutuhan sosial yaitu melakukan interaksi-interaksi sosial dan
membentuk kelompok-kelompok sosial berdasarkan atas kepentingan yang
lebih luas seperti kelompok petani, kelompok pedagang, ormas sosial
keagamaan, dan partai politik. Kemudian untuk dapat berjalannya
serangkaian tIndonesiaakan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan
biologis dan kebutuhan sosial, masyarakat manusia membutuhkan
aturan-aturan, sistem-sistem norma, dan sistem-sistem nilai (kebutuhan
adab) yang kegunaannya fungsional yaitu agar keseluruhan hidup
masyarakat manusia itu dapat berjalan secara aman, teratur, dan beradab.
Keseluruhan dari pola-pola tIndonesiaakan yang dijalankan dalam
kerangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis, kebutuhan sosial, dan
kebutuhan adab tadi, dalam perwujudannya terkait dengan persepsi mereka
tentang hakekat atau makna hidup (di dunia ini), makna kerja, makna
waktu, makna hubungan antarsesama, dan makna alam. Apabila hidup di
dunia ini pendek sedang hidup di akhirat adalah abadi, maka apakah
masyarakat yang bersangkutan kemudian menganggap bahwa hidup di dunia
ini tidak terlalu penting tetapi yang lebih penting adalah hidup di
akhirat nanti? Jika demikian sikap umumnya warga masyarakat, lalu apakah
semangat kerja di dunia untuk memaksimalisasi potensi diri guna
mencapai hasil optimal di dunia ini menjadi rendah? Atau sebaliknya,
apakah tidak mungkin justru karena hidup di dunia ini pendek maka mereka
justru ingin berprestasi dan meningkatkan etos kerjanya; atau malahan
mereka mementingkan “persiapan” hidup di akhirat dan mengabaikan
kepentingan duniawi oleh karena kedua hal itu (duniawi dan ukhrawi)
tidak ditempatkan sebagai suatu proses kesinambungan kehidupan melainkan
dua kehidupan yang bertolak-belakang? Proses berfikir demikian ini
seringkali mewarnai keadaan riil masyarakat kita, termasuk sikap dan
respond mereka terhadap program-program pembangunan itu sendiri.
Pertanyaan yang kemudian perlu dijawab kemudian adalah sistem-sistem
nilai, dan sistem-sistem norma termasuk kebiasaan-kebiasaan yang umum
berlaku dalam kehidupan masyarakat dalam rangka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan biologis, sosial, dan kebutuhan adab itu bagaimana.
Seberapa jauh sikap-sikap seperti menghambat dalam
keikutsertaannya dalam program-program pembangunan, dan bagaimana
mengubah hambatan-hambatan itu menjadi potensi-potensi dan
peluang-peluang yang bisa dikembangkan?
Dari segi metodologi, berarti strategi-strategi macam apa yang bisa digunakan untuk menggali informasi dan pengetahuan-pengetahuan budaya (social-knowledengane)
masyarakat dalam bentuknya sebagai sistem-sistem nilai dan
sistem-sistem norma yang digunakan sebagai acuan bagi warga masyarakat
untuk memahami, memaknai, dan menentukan pilihan-pilihan mengenai jenis2
program pembangunan yang dianggap cocok, model-model partisipasi rakyat
yang bisa dikembangkan, dan kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan
jangka panjang dalam kerangka peningkatan perbaikan kesejahteraan hidup,
peningkatan hubungan yang harmonis antara rakyat dengan pemerintah
daerah, dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Ini berarti bahwa
secara metodologis, penelitian sosial budaya di sini berupa strategi-strategi, dan teknik-teknik untuk memahami berbagai aspek tadi, dengan ciri-ciri: menggunakan ukuran-ukuran penilaian masyarakat setempat (inside looking) bukan ukuran-ukuran masyarakat luar (outside looking).
Pendekatan ini ditandai oleh model penelitian kualitatif yang berciri
lebih mementingkan makna (pengertian) daripada sekedar angka-angka.
Dilihat dari perspektif sejarahnya itu globalisasi merupakan cerminan manusia modern sendiri, sebagaimana digambarkan dengan bagus oleh Goethe (wafat 1832) dalam tragedi Faust. Diangkat dari legenda akhir abad pertengahan tentang seorang tabib yang juga tukang sihir yang amat ditakuti di Eropa ketika itu, Goethe memberi gambaran bahwa man modern adalah pribadi ambisius yang tidak pernah puas pada penget yang dikuasainya (Dilthey 1957). Ia telah menguasai falsafah, sastra, ilmu hukum, kedokteran, dan teologi. Tetapi masih belum merasa memiliki apa-apa. Dia ingin memiliki segala-galanya dan itu hanya dapat dicapai dengan menguasai dua alam sekaligus, yaitu kerajaan dunia dan alam spiritual. Kerajaan benda2 dan kerajaan ilmu penget. Karena ilmu yang mampu membuat seseorang
menguasai dua alam itu berada di tangan Setan (Mephistopeheles), Faust
berrsedia menggadaikan jiwanya kepada Setan selama 25 tahun demi cita2
yang . ingin digapainya. Di pengujung usianya Faust memutuskan
kontraknya dengan Setan. . Dalam hatinya ia berkata, untuk apa lagi
tergantung pada Setan, toh ilmu Setan . telah dia kuasai. Kini dia
menyaksikan betapa kekayaannya begitu melimpah ruah . melampaui kekayaan
Nabi Sulaiman, dan cukup untuk 100 keturunan. Wil kerajaannya . juga
sebegitu luasnya tidak kalah dari wil kemaharajaan Romawi dan Jengis .
Khan. Namun sang penakluk itu akhirnya sadar juga. Ia merasa perlu
bertobat . dan minta ampun kepada Tuhan. Sejak itu dia mulai banyak
berderma, serta mendirikan . rumah sakit, sekolah, universitas, museum
seni, yayasan-yayasan kemanusiaan . dan tempat-tempat ibadah..
Melalui tragedi
Faust ini kita memperoleh banyak iktibar. Sejak awal kelahirannya
globalisasi modern itu didorong oleh hasrat untuk menguasai dunia secara
material dan sekaligus secara kultural dan spiritual. Hasrat itu
menemukan bentuknya yang sesuai stlh bangkitnya kapitalisme, dicapainya
kemajuan ilmu penget dan teknologi, hadirnya falsafah positivisme,
materialisme, dan utilitarianisme, dan berkembangnya ideologi keduniaan
serta teori-teori ilmiah yang kesemuanya itu dapat menopang kokohnya
globalisasi. Itulah ilmunya Faust. Kekuatannya jauh lebih dahsyat dari
ilmu sihirnya tukang-tukang sihir Firaun dan Harry Potter. PARADOKS GLOBALISASI:
MEMIKIRKAN KEMBALI ARAH KEBUDAYA KITA
Oleh Abdul Hadi W. M.
1. Masyarakat Majemuk Indonesia
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society),
yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas lebih dari 500
sukubangsa (ethnik) yang dipersatukan oleh sistem nasional dalam wadah
sebuah negara kesatuan Indonesia. Jika corak masyarakat majemuk
Indonesia yang ditandai penekanannya pada kesukubangsaan dan
kelompok-kelompok sukubangsa yang beranekaragam kebudayaannya ini tidak
dikelola secara tepat, maka akan mudah melahirkan potensi-potensi
destruktif, di antaranya: (a) masyarakat majemuk yang menghasilkan
batas-batas sukubangsa yang didasari oleh stereotipe dan prasangka
negatif. Jika ini dibiarkan tanpa arah bangunan ke-Indonesia-an yang
jelas, bisa memicu munculnya stigma sosial dan pengambinghitaman
antarsukubangsa; (b) Pada gilirannya, kondisi seperti itu akan dengan
mudah melahirkan cara pandang perbedaan secara diskriminatif
antarsukubangsa itu sendiri. Cara pandang diskriminatif ini tercermin
antara lain pada pembedaan warga (suku) asli versus pendatang disertai
dengan sikap merendahkan dan kebencian, seperti kasus konflik Sambas,
Ambon, Kalimantan Tengah, dsb; dan (c) kondisi yang demikian itu akan
semakin dikukuhkan ketika ada kepentingan yang lebih luas, misalnya
kepentingan politik kekuasaan dan perebutan sumber-sumber daya alam.
Dalam hal ini, perbedaan dan sikap serta tIndonesiaakan membeda-bedakan,
dimanfaatkan untuk kepentingan Indonesiaividu atau kelompok dengan
mengabaikan kepentingan yang lebih luas yaitu kesatuan dan persatuan
Indonesia.
Pada era pemerintahan Presiden Sukarno misalnya,
fenomena seperti di atas dicoba diselesaikan dengan melarang
kesukubangsaan sebagai potensi kekuatan politik, guna keutuhan bangsa
Indonesia dan memenangkan semangat nasionalisme. Kebijakan politik
kesukubangsaan waktu itu – adalah politik amalgasi atau peleburan
sukubangsa-sukubangsa menjadi sebuah bangsa yaitu Indonesia, melalui
perkawinan antarwarga sukubangsa yang berbeda-beda. Kemudian pada era
pemerintahan Suharto, tidak hanya kebijakan pelarangan penggunaan
sukubangsa sebagai acuan kepentingan politik, tetapi juga pelarangan
potensi politik dari agama dan ras sebagaimana konsep SARA. Rupanya,
pelarangan yang dilakukan secara represif dengan menggunakan kekuatan
militer secara otoriter, ternyata hanya meredam berbagai gejolak sosial
yang bersifat semu. Begitu pula kebijakan ”penyeragaman” corak
pemerintahan pada tingkat pedesaan yang secara tradisional bercorak
semi-otonomi menjadi bercorak seperti pemerintahan desa Jawa yang
dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah yang dilakukan oleh Ditjen
PUOD, justru berakibat kepada lemah dan melemahnya kekuatan kearifan
lokal (local wisdom) sebagai acuan masyarakat untuk dapat
mengatur lingkungan sosialnya. Ini berarti bahwa desain untuk membangun
masyarakat madani (bercorak demokratis dan multikulturalistik) telah
mengalami kegagalan.
Mendesain ulang masyarakat plural
yang monokultural ke dalam masyarakat multikultural yang berpandangan
multikulturalisme, karenanya menjadi tuntutan yang mendesak.
Pendekatan Culture Fertilization
Inti dari apa yang disebut
kebudayaan ialah ”cara hidup masyarakat, baik masyarakat dalam artian
sempit seperti masyarakat-masyarakat tertentu yang dibatasi oleh
kesatuan wilayah atau etnisitas, tetapi juga masyarakat dalam arti luas
sepertu masyarakat bangsa. Cara hidup tadi terinternalisasi dan
tersosialisasi secara berkelanjutan sehingga membentuk pandangan dan
pengetahuan, keyakinan dan anggapan-anggapan, yang keseluruhannya itu
menjadi dan dijadikan model tIndonesiaakan dan hasil tIndonesiaakan.
Pada masing-masing masyarakat tadi, dalam batas-batas tertentu memiliki
perbedaan sekaligus persamaan dengan masyarakat di luarnya.
Perbedaan-perbedaan yang menjadi khas dari masing-masing masyarakat yang
bersangkutan – jika diakumulasikan – menjadi masyarakat yang
multikultural, dan karena itu ia memiliki potensi-potensi yang bisa
bercorak negatif, tetapi juga sebaliknya menjadi potensi positif.
Dilihat dari isi
(substansi: pengetahuan dan keyakinan) maupun ekspresi (tIndonesiaakan
dan keputusan), setiap kebudayaan itu dinamik. Karena itu, dilihat dari
dimensi ruang dan waktu, kebudayaan-kebudayaan masyarakat itu
dapat dipilah ke dalam tiga corak, yaitu (1) kebudayaan yang sudah
terbentuk/membentuk; (2) kebudayaan yang sedang membentuk; dan (3)
kebudayaan yang direncanakan untuk dibentuk.
Dalam konteks Indonesia,
kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang sudah membentuk itu, seharusnya
dijadikan ”acuan awal” untuk memahami potensi-potensi yang bisa
menyumbangkan kepada konsep kebudayaan dewasa ini (sedang membentuk) dan
kebudayaan Indonesia dalam rancangan ke depan, baik dalam level
masyarakat Indonesia sendiri maupun dalam kaitannya dengan pergaulan dan
persinggungan dengan kebudayaan-kebudayaan global.
Upaya-upaya untuk
mencapai idealitas yang tak terjerabut dari akar-akar kebudayaan
kesukubangsaan, salahsatunya ialah dengan pendekatan culture
fertilization. Makna culture fertililization sebagai pendekatan
di sini ialah mendesain perbedaan-perbedaan budaya (sebagaimana
masyarakat Indonesia) sebagai potensi (anugerah/maslahat) bukan sebagai kerugian (madharat), dengan cara memadukan, meramu, dan mengembangkannya sesuai dengan tuntutan dan perubahan sosial, sehingga
menjadikan kekuatan dan penguatan ke-Indonesia-an. Cara yang bisa
ditempuh ialah melalui penerimaaan dan penghormatan perbedaan itu
sendiri dalam satu sisi, dan mencari titik temu kesamaan sebagai
identitas keIndonesiaonesiaan dalam sisi yang lain. Kedua hal itu,
menjadi prasyarat dari suatu wujud masyarakat madani yang ciri-cirinya
antara lain demokratisasi. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang
dalam ciri-ciri kulturalnya menunjukkan bahwa warganya memiliki
kesadaran terhadap keberagaman dan karena itu cara hidup yang dinilai
beradab ialah menghargai perbedaan itu sendiri sekaligus mengupayakan
mencari titik temu yang memungkinkan guna kepentingan yang lebih luas.
Kesadaran dan penghargaan atas perbedaan demikian, baru memungkinkan
kalau didukung oleh faktor-faktor lain seperti keteraturan hukum,
keadilan sosial ekonomi dan politik, dan sebagainya.
Dengan kata lain,
proses-proses menuju ke sana tidak lalu berarti tanpa memunculkan
konflik, tetapi konflik yang terjadi dalam proses menurut prinsip
demokrasi harus mengikuti hukum atau aturan main yang adil dan beradab.
Ketaatan atau kepatuhan pada hukum yang berlaku, adalah salah satu
syarat mutlak bagi berlakunya demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Tanpa adanya ketaatan pada hukum, maka yang ada adalah kerumunan dan
kekacauan, di mana masing-masing pihak atau kekuatan berlaku
semena-mena. Jadi melalui hukum inilah kebudayaan dan peradaban seperti
halnya perikemanusiaan, termasuk terwujudnya kesetaraan derajat
Indonesiaividu demi kesejahteraan bersama, dapat ditegakkan.
Dalam masyarakat
multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau
pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses
negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan
timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi
normatif, yaitu kompetensi kebudaya, kemasyarakatan dan kepribadian. Kompetensi
kebudaya adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang
terlibat dalam tIndonesiaakan komunikatif membuat
interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus
mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan mrp tatanan2
sah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tIndonesiaakan
komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah
kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan
bertIndonesiaak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses
pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati
dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi. http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875
Penutup
APA yang bisa kita petik dari
kajian di atas adalah pelajaran mengenai sikap manusia yang sering
paradoksal. Pengetahuan dan niat baik saja ternyata tidak cukup. Tidak
selalu niat baik menghasilkan tujuan baik, karena dalam perjalanannya
manusia tergoda dan terbius kepentingan jangka pendek. Begitu pula, niat
damai tak selalu dipahami orang agar dicapai dengan jalan damai pula.
Sebagian dari mereka cenderung menggunakan jalan kekerasan.
Pertanyaannya, sejauh mana jalan kekerasan bisa mewujudkan kedamaian?
Dalam kasus masyarakat manakah jalan kekerasan bisa menghasilkan
kedamaian? Itulah sebabnya, kita menjadi sadar bahwa ketika orang
atau suatu kelompok melihat kelompok lain sebagai “lawan” dan oleh
karena itu, adalah wajar untuk dimusuhi bahkan dilawan – ternyata adalah hasil konstruksi manusia sendiri. Jika dmk
halnya, maka tugas kita adalah “membongkar” konstruksi sosial itu, lalu
membangun kembali menjadi bangunan di mana setiap manusia merasa nyaman
memasuki bangunan tadi. Untuk itu, kita masih perlu belajar bgmn menumbuhkan kesanggupan bukan saja untuk melihat dan memperlakukan orang lain sebagai saudara, tetapi juga mendesain bangunan persaudaraan itu sendiri.
Inilah esensial dari mempersatukan dan menyatukan kebudayaan-kebudayaan
masyarakat Indonesia, sebagaimana yang diarah dari pendekatan culture fertilization.
Daftar Bacaan
Azra, Azyumardi
2008 “Pendidikan di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, dalam http://www.setneg.go.id
Kessler, Gary E
2001 Voices of Wisdom – a Multicultural Philosophy Reader. USA: Wadsworth.
Saifuddin, Achmad Fedyani
2007 “Kesukubangsaan, Nasionalisme, dan Multikulturalisme”, dalam Hak Minoritas, Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta: The Interseksi Foundation.
Suparlan, Parsudi
1999 “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”, dalam Antropologi Indonesia. Tahun. XXIII, No. 59, Mei – Agustus. Hlm. 7 -19.
2001 “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, paper untuk Simposium Internasional, di Bali (16-21 Juli 2002). http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm
Thohir, Mudjahirin
2007 Kekerasan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia – Suatu Pendekatan Sosial Budaya. (Pidato Pengukuhan Guru Besar Undip).
[1] Staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Undip; guru besar dalam bidang Ilmu Antropologi. Email: thohir_mudjahirin@yahoo.com
[2] Pada
tahun 1960-an, Ghana dan Korea Selatan, adalah dua negara yang memiliki
produk domestik bruto (PADAB) per kapita setara. Ekonomi mereka,
sama-sama ditupang oleh produk, manufakturing, dan jasa primer. Mereka
juga menerima bantuan ekonomi dari negara donor dalam jumlah yang
seimbang. Tetapi tiga puluh tahun kmd, yakni tahun 1990-an, Korea
Selatan sudah menjadi raksasa Indonesiaustri dengan ekonomi terbesar
ke-4 di dunia. Korsel telah berhasil membangun perusahaan-perusahaan
multinasional, ekspor mobil, alat elektronik, dan barang-barang canggih
hasil pabrik lainnya dalam jumlah besar. Akibat dari itu semua,
pendapatan penduduk per kapita, mendekati Yunani. Sementara Ghana, tidak
ada perub yang berarti. Maka wajar kalau PADAB Korsel, lima belas
kalinya lebih besar dari Ghana.
Bagaimana menjelaskan
perbedaan yang luar biasa dalam perkembangan ini? Banyak faktor yang
berperan. Tetapi yang jelas, budaya memainkan peran besar. Orang Korea
Selatan menghargai hidup hemat, investasi, kerja keras, pendidikan,
organisasi, dan disiplin (Huntington, 2006: xiii).
Jauh sebelum Korea
Selatan melesat jauh sebagai negara kaya, Jepang telah lebih dahulu
menjadi negara yang luar biasa dahsyat. Negara yang pernah dibom atom
oleh Amerika Serikat itu, justru bangkit bersama budayanya. Bagaimana
caranya? Mereka mempekerjakan tenaga ahli dan teknisi asing (untuk
disadap ilmunya), sembari mengirimkan wakil-wakil Jepang ke luar negeri
untuk membawa laporan kemajuan Eropa dan Amerika. Intelijen semacam ini
menjadi dasar bagi pilihan yang diambil. Ini mencerminkan pertimbangan
yang hati-hati dan luwes akan keunggulan komparatif. Model
pertama militer Jepang ialah (meniru) tentara Perancis. Tetapi setelah
tentara Perancis dikalahkan oleh Prusia (1870-1), bangsa Jepang dengan
segera memutuskan untuk belajar soal militer kpada Jerman.
Tidak ada kesempatan
belajar yang disia-siakan. Bulan Oktober 1871, delegasi Jepang (tingkat
tinggi) menyertakan Okuba Tomishi bepergian ke Amerika Serikat dan
Eropa. Mengunjungi pabrik, pengecoran baja, galangan kapal, pabrik
senjata, jalan kereta api, dan terusan. Setelah dua tahun kmd (September
1873), para delegasi Jepang itu telah merasa mendapat pelajaran yang
melimpah. dan untuk selanjutnya, mereka dengan patriot nasionalismenya,
berantusias mengubah negerinya. Jepang mesti bergegas (bandingan dengan
kunjungan pejabat dan DPR RI yang pergi ke luar negeri).
Untuk memulainya, negara Jepang membangun
cabang-cabang Industri yang sudah mereka kenal, terutama pabrik sutra
dan katun, serta membangun pabrik pemprosesan makanan pokok yang kebal
dari peniruan luar negeri, seperti: sake, miso, dan kecap. Dari tahun
1877 – 1900 (13 tahun kmd) – Jepang memulai generasi pertama industri.
Industri makanan tumbuh sebesar 40%, dan Industri tekstil tumbuh 35%.
Jepang tidak berhenti
sampai di sini. Mereka bertekad untuk tidak sekedar menghasilkan
barang-barang konsumen, tetapi Jepang ingin memiliki ekonomi modern. Ini
berarti harus menguasai Indonesiaustri berat seperti: membangun mesin,
motor, kapal, lokomotif, jaringan kereta, pelabuhan, dan galangan kapal.
Pemerintah memainkan peran penting. Membiayai pengintaian di luar
negeri, mendatangkan para ahli dari luar negeri, membangun instalasi,
dan menyubsidi usaha perdagangan. Selain itu, bakat dan determinasi para
patriot Jepang, siap mengganti karier demi perjuangan nasional. Jepang
meningkatkan kualitas para pekerja, terutama para tukang yang terampil,
dengan kecakapan yang terasah dan sikap yang terbentuk oleh tim kerja
yang akrab dan pembimbingan di bengkel-bengkel pertukangan.
Jika negara-negara
lain mengirimkan orang-orang muda (termasuk Indonesia) ke luar negeri
untuk belajar cara-cara yang baru dan setelah mendapatkan apa yang
dicari mereka umumnya tidak mau kembali ke negara asalnya, tidak
demikian halnya dengan anak-anak muda Jepang. Ekspatriot Jepang pulang
kembali ke negerinya. Jika negera-negara lain mendatangkan teknisi asing
untuk mengajari rakyatnya, Jepang pada umumnya mengajar diri mereka
sendiri. Jepang memodifikasinya, membuatnya lebih baik, membuatnya
sendiri. (Lihat David Landes, 2006).
[3] Kekayaan
sumber daya alam Indonesia yang melimpah itu, tidak saja belum dikelola
secara baik, tetapi juga diekploitasi untuk kepentingan-kepentingan
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Korupsi juga menjadi dan
dijadikan “kebiasaan tIndonesiaakan” oleh sebagian pejabat di negeri
ini. Pembiasaan demikian itu, bukan saja buruk dilihat dari aspek moralitas
dan hukum, tetapi juga berakibat buruk dalam tatanan kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat, termasuk memiskinkan masyarakatnya, baik
dalam arti tatanan sosial maupun kesejahteraan.
Komentar
Posting Komentar
Komentar yang baik ya